Kisah di atas adalah secuil potret pengelolaan anggaran di desa yang rentan akan korupsi. Sejak UU no 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) ditetapkan, perhatian publik saat ini memang tertuju pada pengelolaan anggaran desa. UU Desa memberikan tambahan kewajiban pada desa untuk mengelola anggarannya, yakni dengan kucuran Dana Desa. Jika anggaran besar dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD) diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Dana Desa diberikan oleh Pemerintah Pusat.

Kasus yang diceritakan di atas menyelewengkan anggaran desa yang berasal ADD dan Dana Desa. Kedua sumber pendapatan desa tersebut memang mengucur dalam jumlah besar tiap tahunnya. Dari kasus-kasus penyelewengan anggaran desa, ADD dan Dana Desa marak disalahgunakan. Tentu hal ini perlu diberikan perhatian lebih. Dalam hal dana desa misalnya, pemerintah pusat kini memiliki kewajiban mengucurkan dana besar kepada masing-masing desa di Indonesia yang jumlahnya nyaris mencapai 75.000. Jumlah dana yang dikucurkan sendiri meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2015, dana desa berjumlah 20,7 triliun rupiah. Pada tahun 2016 meningkat dua kali lipat menjadi 46,9 triliun. Pada tahun 2017 dan 2018, dana desa ditetapkan sebesar Rp 60 triliun. Rata-rata setiap desa akan mendapat Rp 800 juta rupiah.

Hal demikian jelas akan menambah pekerjaan baru bagi aparat desa. Pemerintah desa telah memiliki berbagai sumber pendapatan yang mesti dikelola. Adanya dana desa terlebih dengan jumlah yang teramat besar mengharuskan mereka memiliki kemampuan yang baik dalam pengelolaannya. Tanpa kesiapan pemerintah desa dan masyarakatnya, dana desa akan rentan dikorupsi.

Korupsi di Desa Semakin Marak

Indonesia Corruption Watch (ICW) telah melakukan pemantauan terhadap korupsi di tingkat desa. Total kasus korupsi pada tahun 2015 – 2017 mencapai 154 kasus. Hasil pemantauan kemudian memperlihatkan bahwa jumlah kasus korupsi di desa selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 ditemukan 17 kasus, kemudian pada tahun 2016 meningkat menjadi 41 kasus. Pada tahun 2017, melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 96 kasus.

Anggaran desa adalah objek korupsi yang terpantau paling banyak ditemukan. Sebanyak 127 kasus atau 82% kasus menjadikan anggaran desa sebagai objek. Anggaran desa di sini mencakup ADD, dana desa, kas desa, dan lain-lain. Sementara 27 kasus sisanya berupa non-anggaran desa, seperti pungutan liar yang dilakukan oleh perangkat desa.

Kasus korupsi di desa menggunakan berbagai macam modus. Sebanyak 51 kasus merupakan praktik penyalahgunaan anggaran, membuatnya menjadi modus yang paling banyak ditemukan. Modus lain yang ditemukan adalah penggelapan dengan jumlah 32 kasus, penggelembungan (mark up) anggaran 14 kasus, dan laporan fiktif 17 kasus. Modus-modus tersebut rawan dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi anggaran.

Kerugian negara yang ditimbulkan dari korupsi desa juga berjumlah tak sedikit. Total kerugian negara pada tahun 2015 – 2017 berkisar pada 47,56 miliar rupiah. Tahun 2015 kerugian berjumlah 9,12 miliar rupiah. Tahun berikutnya kerugian mencapai 8,33 miliar rupiah. Lonjakan kemudian terjadi pada tahun 2017 dengan angka kerugian mencapai 30,11 miliar rupiah.

Hal penting adalah aktor yang terjerat dalam kasus korupsi di desa. Jumlah kepala desa yang tersangkut kasus terus menerus meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2015, 15 kepala desa menjadi tersangka. Pada tahun 2016 jumlahnya meningkat menjadi 32 kepala desa. Pada tahun 2017, jumlahnya meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 65 orang yang tersangkut kasus korupsi. Total dalam kurun waktu 2015 – 2017, sebanyak 112 orang kepala desa tersangkut kasus korupsi. Tersangka lain turut terlibat dalam kasus, yakni 32 orang perangkat desa dan 3 orang keluarga kepala desa.

Apa yang menyebabkan korupsi di desa marak terjadi? Dari kasus-kasus diatas paling tidak terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab. Hal pertama ialah minimnya pengawasan terhadap proses pembangunan desa. Kemauan warga desa untuk mengawasi perencanaan dan penggunaan anggaran desa minim. Kemauan ini juga ditambah dengan faktor ketidaktahuan. Banyak warga desa yang bahkan tidak mengetahui adanya dana desa dan anggaran lain serta tujuannya. Padahal warga desa memiliki hak dan kewajiban untuk mengetahuinya sebagaimana tertera dalam UU Desa.

Ketidaktahuan dan kemauan ini boleh jadi muncul akibat terbatasnya akses informasi. Akses warga terhadap anggaran desa tidak tersedia secara layak. Tak banyak warga desa yang tahu jumlah penerimaan dan pengeluaran desa akibat masih terdapat desa yang tidak mengumumkan besaran anggaran desa. Sejumlah desa memang telah berupaya menyediakan informasi bagi warganya. Misalnya mengumumkan besaran anggaran desa dengan cara ditempel di papan pengumuman kantor desa, atau lokasi lainnya. Akan tetapi upaya demikian tidak cukup. Rincian penggunaan secara rutin dan teratur harus diumumkan melalui cara yang mudah diterima oleh warga.

Akses informasi memang seringkali tidak dianggap penting. Informasi yang berkaitan dengan pembangunan desa seringkali dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu seperti kepala desa. Adanya monopoli informasi membuat penyimpangan rentan terjadi. Informasi semestinya terbuka lebar bagi seluruh warga desa.

Dalam kasus lain selain anggaran, informasi menjadi hal yang berguna bagi warga. Warga desa juga perlu mendapat informasi perihal penggunaan akses pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Akses informasi yang terbatas kemudian membuat warga tidak terdorong untuk berpartisipasi aktif, dampaknya pengawasan terhadap pembangunan desa dan anggarannya menjadi minim. Hal ini juga ditambah dengan belum optimalnya peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD). BPD semestinya bisa berperan penting dalam mencegah korupsi di desa. Mendorong warga untuk berpartisipasi dan membekali mereka kemampuan untuk melakukan pengawasan menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh BPD. Menengok pentingnya BPD, Kementerian Desa PDTT perlu turun tangan untuk memperkuat peran dan fungsi BPD.

Hal lain yang menjadi penyebab adalah keterbatasan kemampuan kepala desa dan perangkat desa. Kasus-kasus korupsi dapat terjadi apabila kepala desa dan perangkat desa tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup. Kemampuan untuk mengelola anggaran, pengetahuan akan peraturan, adalah hal wajib yang dimiliki oleh kepala desa dan perangkatnya. Tak sedikit kepala desa dan perangkat desa terjebak kasus korupsi akibat tidak memahami prosedur maupun peraturan yang berlaku. Di sini, peran Kementerian Dalam Negeri dalam memperkuat kemampuan Kepala Desa dan Perangkat Desa dibutuhkan.

Fenomena korupsi anggaran desa yang marak terjadi perlu dijadikan perhatian serius. Terlebih lagi anggaran desa kini berjumlah semakin besar dengan adanya dana desa. Jika tak ada upaya yang serius untuk membenahi hal-hal diatas, korupsi di desa akan terus marak terjadi. Imbasnya adalah tujuan yang hendak dicapai dari kebijakan dana desa tidak akan terwujud.

Penting juga untuk menjadi catatan. Maraknya kasus korupsi serta kepala desa dan perangkat desa yang tersangkut kasus hukum tak semestinya membuat desa berhenti berupaya dalam membangun desa ke arah yang lebih baik. Dana desa dapat dimanfaatkan untuk membangun desa secara inovatif. Selama hal tersebut dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang berlaku, desa tak perlu takut terkena kasus korupsi.

 

Egi Primayogha
Divisi Riset Indonesia Corruption Watch

 

Diclaimer
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Sinar Harapan edisi 15-21 Oktober 2018 halaman 5, dengan judul “Korupsi Anggaran Desa”

0 Shares
Tweet
Share