UUD menempatkan hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia (HAM). Di Indonesia, hak atas lingkungan hidup telah diakui sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya, aturan tersebut diperkuat dalam perubahan undang-undang lingkungan hidup. UU No. 4/1982UU No. 23/1997UUD Perubahan Ke-2UU No. 32/2009 Hak atas lingkungan hidup telah diakui sebagai hak bagi setiap orang. (pasal 5 ayat (1)) Hak atas lingkungan hidup merupakan hak yang sama bagi setiap orang. (pasal 5 ayat (1)) Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat diselaraskan dengan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan memperoleh pelayanan kesehatan yang merupakan bagian dari HAM. (pasal 28H ayat (1))Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. (pasal 65 ayat (1)) [1] Raynaldo Sembiring, “Anti SLAPP Dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia” hlm. 9. Makalah dipresentasikan pada Konferensi Hukum Lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kamis, 4 Desember 2014. Tabel di atas menunjukkan bahwa sejak awal pembentukannya, bahkan jauh sebelum pengakuan oleh UUD, undang-undang lingkungan hidup telah mengakui pentingnya setiap orang untuk memiliki hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Secara progresif, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan telah memberikan: Salah satu wujud dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak akses untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Artinya, hak atas akses partisipasi merupakan salah satu cara untuk mencapai pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Salah satu cara mencapai pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah kontrol oleh masyarakat (citizen control). Bentuk kontrol yang dilakukan oleh masyarakat diantaranya delegated control, independent control, dan entrusted control. Kontrol oleh masyarakat dapat membuka ruang partisipasi bagi masyarakat dalam pengambilan keputusan melalui pendelegasian, fasilitasi, ataupun penyerahan kontrol sepenuhnya kepada masyarakat. Meskipun sudah ada aturan yang memberikan akses kepada masyarakat untuk melakukan kontrol, namun ketika masyarakat melakukan kontrol justru mengakibatkan berbagai resiko tanpa ada perlindungan dari pihak pemerintah. Resiko yang sering muncul berupa ancaman hukum maupun kekerasan fisik dan psikologis. Dalam beberapa kasus, resiko yang dihadapi masyarakat yang melakukan kontrol, tidak hanya dalam bentuk gugatan hukum dan proses pengadilan, namun sampai pada tindakan kekerasan yang mengancam jiwa masyarakat yang aktif dalam partisipasi melindungi lingkungan, dan juga orang-orang terdekat yang tidak secara langsung berpartisipasi. Perlawanan ini mempunyai tujuan untuk memberi rasa takut, teror, dan mengganggu usaha partisipasi masyarakat. Kondisi pelanggaran terhadap akses partisipasi masyarakat dalam mencapai pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini secara umum dikenal sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). SLAPP merupakan usaha perlawanan balik yang dilakukan oleh pihak tertentu yang mendapat keuntungan dari kebijakan pemerintah untuk menghambat akses partisipasi masyarakat dalam memenuhi haknya atas lingkungan yang baik dan sehat. Pihak yang menggunakan SLAPP (SLAPP Fillers) setidak-tidaknya memiliki 2 (dua) tujuan yaitu: Menghambat, menghilangkan, ataupun membungkam segala bentuk partisipasi masyarakat. Tindakan ini dilakukan dengan memberikan rasa takut, memberikan ancaman, memberikan rasa tidak aman dan tindakan lainnya yang mampu menggagalkan partisipasi masyarakat. Tindakan ini umumnya dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa terganggu dengan partisipasi tersebut. Dalam kasus lingkungan hidup, umumnya dilakukan oleh korporasi, pemerintah, ataupun penegak hukum. Menggagalkan penyelesaian pokok masalah yang diajukan oleh masyarakat. Jika partisipasi tidak terlaksana, tentunya penyelesaian masalah yang diangkat juga tidak akan tercapai. Karenanya, SLAPP Fillers selalu berusaha untuk menggagalkan partisipasi dan tidak membahas terlalu jauh mengenai substansi masalah. Kalaupun substansi masalah diselesaikan, maka akan diselesaikan sesuai dengan keinginan SLAPP Fillers. Untuk mencegah terjadinya SLAPP, dikenal konsep Anti SLAPP. Konsep ini kemudian diadopsi oleh Indonesia dan dirumuskan dalam Pasal 66 Undang – Undanga No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam risalah UU 32/2009, alasan perumusan pasal ini karena banyak sekali terjadi kasus penuntutan yang dilakukan oleh perusahaan yang diduga sebagai pencemar lingkungan. Perusahaan-perusahaan tersebut seringkali menggugat balik aktivis-aktivis lingkungan yang mengomentari/berpendapat tentang pencemaran lingkungan dengan dalil pencemaran nama baik. Selain itu, perumusan ini juga dipicu oleh pengalaman yang dialami oleh anggota DPR yang diproses hukum karena membela rakyat yang sedang memperjuangkan haknya. Menurut ahli yang merumuskan pasal tersebut, setiap orang yang memperjuangkan masalah lingkungan mendapatkan perlindungan hukum.[1] Jika melihat perkembangan SLAPP yang terjadi di Indonesia, kasus yang menimpa para pejuang lingkungan justru semakin banyak dan mulai menyasar pihak selain masyarakat dan aktivis, seperti yang menimpa Basuki Wasis, ahli lingkungan yang bersaksi dalam kasus korupsi Nur Alam. Disis lain, konsep ANTI SLAPP yang dirumuskan dalam UU 32/2009 dan surat keputusan Mahkamah Agung nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakukan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (SK KMA 36/2013), masih memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan. Oleh karena itu, pemerintah perlu merumuskan konsep Anti SLAPP yang lebih konkret di dalam peraturan yang berlaku di Indonesia. Alasan utama UU 32/2009 dan SK KMA 36/2013 memiliki kelemahan dan keterbatasan yaitu: Bagaimana arah jangkauan SLAPP? Apakah kriminalisasi ataupun kekerasan terhadap pembela lingkungan dapat dikategorikan sebagai SLAPP? Bagaimana menentukan kriteria terjadinya SLAPP? Bagaimana strategi implementasi Anti SLAPP dalam sistem hukum acara pidana dan perdata? Hal menarik juga disampaikan dalam UN Environment Policy yang menyatakan bahwa tidak semua orang yang berjuang untuk lingkungan hidup yang baik dan sehat memahami bahwa ia adalah seorang pembela lingkungan. STRATEGI IMPLEMENTASI Menentukan pihak yang dapat dilindungi Anti SLAPP Yang menjadi penting untuk ditentukan dalam konteks Indonesia adalah apakah subjek selain indvidu dan organisasi non pemerintah dapat dilindungi dengan Anti SLAPP? Dalam konteks Indonesia, terdapat beberapa profesi yang “rawan” menjadi korban SLAPP, antara lain: ahli (berstatus PNS), staf pemerintah, pengajar, dll. Menentukan arah jangkauan Anti SLAPP Berdasarkan UU 32/2009, jangkauan Anti SLAPP hanya terbatas kepada perlindungan kepada pihak yang menggunakan haknya untuk berpartisipasi. Partisipasi ini pun seringkali dipandang hanya sebagai partisipasi aktif. Perlindungan terhadap masyarakat yang berpastisipasi secara pasif atau secara tidak langsung, tidak dijelaskan. Misalnya, bagaimana jika yang mendapat teror adalah keluarga dari aktivis lingkungan, apakah ini juga masuk jangkauan dari Anti SLAPP? Menentukan kriteria terjadinya SLAPP Dibutuhkan beberapa pertanyaan bantuan bagi penegak hukum untuk dapat menentukan kasus tersebut masuk kedalam SLAPP atau bukan, misalnya untuk pihak terlapor ditanyakan “apakah terlapor sebelumnya pernah melakukan partisipasi terkait dengan lingkungan hidup?” dan untuk pelapor data ditanyakan “apakah pelapor memiliki hubungan dengan pihak yang dilaporkan?” Strategi implementasi hukum acara Dalam sistem hukum acara pidana, operasionalisasi Anti SLAPP harus dimulai dengan 3 (tiga) kali penapisan, yaitu:[1] Penapisan pertama pada tahap pelaporan/pengaduan, penyelidikan dan penyidikan. Pada tahap ini penyidik sudah harus mendeteksi apakah terjadinya SLAPP atau tidak. Seharusnya, jika diidentifikasi ada potensi SLAPP dalam perkara yang sedang disidik, maka penyidikan tersebut dikesampingkan sementara atau dilakukan secara simultan, untuk mencari kebenaran mengenai SLAPP. Penapisan kedua pada tahap pra penuntutan dan penuntutan. Tahap kedua dilakukan jika penapisan tahap pertama gagal dalam menghentikan SLAPP atau SLAPP belum teridentifikasi pada tahap pertama. Jika ternyata penuntut umum menilai adanya SLAPP, maka penyidik dapat menghentikan penuntutan perkara tersebut. Alasan yang digunakan untuk penghentian penuntutan ini dapat berupa: tidak terdapat cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana, atau memperhatikan perkembangan hukum dan rasa keadilan masyarakat.[2] Penapisan ketiga pada tahap persidangan. Penapisan pada tahap ini dilakukan jika penapisan pada tahap pertama dan kedua gagal mencegah terjadinya SLAPP atau SLAPP belum teridentifikasi. Mekanisme penapisan ini mengacu kepada SK KMA 36/2013 sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian III huruf D angka 2. Setiap rakyat Indonesia memiliki hak untuk mendapat lingkungan hidup yang berkualitas. Memperjuangkannya dan mendapat perlindungan hukum juga merupakan hak yang harus dipenuhi negara. Dengan aturan yang melindungi para pejuang lingkungan itu artinya memberi jaminan bahwa kontrol oleh masyarakat terhadap kegiatan ekploitasi melalui partisipasi memperjuangkan lingkungan bisa terus berlangsung. Dorongan kepada pemerintah untuk menerbitkan aturan yang memperkuat UU 39/2009 dan SK KMA 36/2013 perlu ditingkatkan. Dengan begitu, aturan Anti SLAPP semakin konkret bisa diterapkan di Indonesia, disertai dengan aturan dan petunjuk teknis yang tepat. Publikasi diatas secara keseluruhan mengambil data dari narasi akademik yang disusun oleh Raynaldo Sembiring (peneliti & konsultan ICEL)